Oleh: Muhammad Habibi
Dalam lanskap sosial dan keagamaan Indonesia, terdapat fenomena menarik yang kerap luput dari pembacaan kritis: rivalitas paling sengit justru sering terjadi bukan antar yang berbeda, tetapi antar mereka yang serupa.
Fenomena ini dapat disebut sebagai “rifalitas homogen”—sebuah kondisi di mana pihak-pihak dengan identitas, tujuan, atau segmentasi yang serupa justru saling bersaing secara tidak sehat. Seperti dua pedagang bakso di gang sempit yang saling sikut pelanggan, bukan antara pedagang bakso dan montir tambal ban.
Rival Abadi Bukan yang Berbeda, Tapi yang Serupa
Dalam dunia usaha, rivalitas sesama jenis usaha adalah hal lumrah. Tapi ketika hal ini merembet ke dunia dakwah, sosial, dan organisasi keagamaan, persoalannya menjadi lebih pelik dan berisiko. Banyak organisasi Islam di negeri ini tampak lebih sibuk menguliti kekurangan organisasi lain yang juga mengusung misi dakwah—alih-alih merangkul untuk sinergi.
Ironisnya, hubungan antar agama sering kali terasa lebih damai. Dialog antarumat beragama terjalin dengan baik, kerja sama lintas keyakinan berlangsung lancar. Tapi di sisi lain, perselisihan tajam justru hadir di antara kelompok-kelompok dalam rumah yang sama—Islam.
“Kalau beda keyakinan, kita akrab. Kalau beda pendekatan, kita saling hujat,” kata seorang pengamat sosial dengan getir. Hal ini menunjukkan adanya paradoks internal dalam tubuh umat beragama itu sendiri.
Persaudaraan yang Tertinggal di Panggung Retorika
Persaudaraan kerap digembar-gemborkan dalam khutbah, mimbar, hingga media sosial. Namun, dalam realitas sosialnya, praktik saling menjatuhkan justru lebih mendominasi. Citra baik organisasi dibangun di atas puing-puing reputasi organisasi lain.
Mengapa ini terjadi? Jawabannya sederhana namun menohok: karena kesamaan melahirkan perbandingan, dan dari perbandingan tumbuhlah kecemburuan sosial. Fenomena ini diperkuat oleh teori psikologi sosial “in-group rivalry”—di mana kompetisi lebih keras terjadi di dalam kelompok yang homogen dibanding antar kelompok yang berbeda.
Tak jarang, perbedaan strategi dakwah atau pendekatan organisasi dianggap sebagai penyimpangan. Saling tuding ‘bid’ah’, ‘liberal’, hingga ‘radikal’ menjadi narasi yang laku dan viral. Sayangnya, narasi seperti ini lebih menguntungkan algoritma media sosial ketimbang kemaslahatan umat.
Refleksi untuk Umat dan Bangsa
Kita sebagai bangsa dan umat seharusnya belajar dari sejarah. Bangsa besar tidak runtuh karena musuh dari luar, tapi karena retak dari dalam. Demikian pula umat, yang kekuatannya akan terus tergerus jika terus sibuk menuding saudara sendiri.
Sudah saatnya kita menyadari: rifalitas bukan alasan untuk saling menjatuhkan. Justru di antara yang serupa, dibutuhkan kedewasaan untuk mengakui kelebihan pihak lain. Kolaborasi antarkesamaan bisa melahirkan kemajuan yang tak terbayangkan.
Akhirnya, mari bertanya pada diri sendiri: untuk apa kita diciptakan serupa, jika hanya untuk saling mengalahkan?
Kadang, musuh terbesar bukanlah yang berbeda akidah, tapi mereka yang seiman, tapi beda jalan. Pertanyaannya bukan siapa yang paling benar, tapi siapa yang paling ikhlas untuk tidak merasa paling benar.
“Tanyakan Pada-Nya…”
Informasi Penulis
Muhammad Habibi, merupakan Ketua Pimpinan Anak Cabang Gerakan Pemuda Ansor Kecamatan Gambiran Masa Khidmat 2024-2027.